Catatan 2 Bulan: Jika Kau Tersesat Tanya Saja Barista
Kisah-kisah ini tentu bukan dari pengalaman saya saja. Melainkan dari pengunjung Kopi Yuk! dengan latar belakang berbeda. Dari cerita mereka, saya belajar banyak, mendapat pengetahuan yang belum saya tahu, sekaligus menerima ragam masukan serta saran dari mereka.
Saya jadi paham ungkapan 'jika kau tersesat tanya saja barista' yang pernah disebutkan salah satu tokoh fiksi dalam komik Jepang berjudul Barista. Ungkapan itu bisa jadi bermakna: barista tahu segala hal karena kerap 'dicurhati' pelanggannya. Artinya, tak melulu ahli teori dan praktik membuat kopi, melainkan bisa tahu juga kenapa anak Moldi kucing Tamkul akhir-akhir ini tidak tampak seliweran di depan kedai.
Menjadi jembatan
Saya sangat antusias mendengar cerita terbaru dari pengunjung. Selagi mereka bercerita, selintas saya berpikir barangkali cerita-cerita ini bisa menjadi anekdot, atau saya ceritakan ulang kepada pengunjung lain atau bisa saja menjadi sebuah buku hahaha.
Jujur saja, sebagai pedagang, saya ingin menjembatani jarak antara pedagang dan pembeli. Jembatan itu adalah komunikasi intim. Dengan segala kekurangan yang kami miliki baik fisik maupun tidak, kami berusaha menambalnya dengan membuat nyaman pengunjung. Kami lakukan dengan mengajak ngobrol dan bermain board games Candrageni atau Cluedo bersama.
Lagi-lagi ini bukan cuma soal kopi. Ini soal aria, atau 'suasana' dalam bahasa Italia.Yang terakhir disebut ini saya kutip lagi dari komik Barista. Esensi kafe bukan cuma soal kopi, melainkan atmosfir yang ditawarkan. Sesuai dengan hasil riset terhadap 100 pengunjung Kopi Yuk! sebulan lalu dimana pelayanan ramah dan atmosir kafe yang menyenangkan masuk lima besar hal paling penting ketika mengunjungi sebuah kafe di Yogyakarta.
Kafe sebagai institusi kultural
Habermas pernah meneliti tentang public sphere atau ruang publik (shit tulisan ini jadi semakin serius hehe...). Posisi istimewa ini disematkan pada coffeehouses dalam istilah peneliti Jerman itu.
Kehadiran kafe, menurut dia, merupakan wahana yang berkontribusi menciptakan, merawat apa yang disebut Habermas sebagai webs of social development. Di tempat ini pengunjung dari berbagai latar belakang budaya, jabatan, status sosial dapat ngobrol bebas apa yang dia maui, tanpa takut terintervensi, terintimidasi kekuatan politik-ekonomi lain.
Nah, dalam pemahaman saya, tentu saja hal tersebut baru bisa terjadi jika pemilik tidak hanya memfasilitasi tempat melainkan juga mau terlibat untuk ikut ngobrol dengan si pengunjung. Sayangnya saya tidak menemukan literatur lengkap bagaimana keterlibatan pemilik dapat berkontribusi positif terhadap hal ini. Namun setidaknya inilah yang saya jalankan dan yakini hingga saat ini.
Disambung lagi di tulisan berikutnya ya... :)
Komentar
Posting Komentar