Mencoba Kopi Bung Karno

Berlagak yang punya kebun
Oke, saya menyadari kalau saya bukan orang yang mudah peka dengan cewek dan ngg... terutama terhadap sejarah kampung halaman sendiri, Blitar. Kota ini ternyata punya perkebunan kopi yang telah dikelola sejak zaman pemerintahan Belanda. Nah setidaknya saya mulai bangga dengan tempat ini.

Sudah cukup lama saya cuek dengan keadaan kota ini. Jujur saja, kota ini terlalu kalem untuk anak muda seperti saya yang gemar cari masalah. Buat kebanyakan orang, Blitar identik dengan 'Bung Karno', 'nasi pecel','jimbe' atau barangkali 'nanas'. Tiga hal yang disebut terakhir pun juga tidak terlalu beken dikenal.

Kantornya nih


Blitar penghasil kopi robusta? Hmm mulanya saya tidak percaya. Tapi ternyata, perkebunan kopi itu ada dan sudah dikelola sejak 1874. Letaknya dekat kaki Gunung Kelud, nama Belanda-nya, 'De Karanganjar Koffieplantage' atau 'Kebun Kopi Karanganyar'. Karanganyar mengacu kepada nama desa di area di mana perkebunan tersebut berada.






1. Tidak terlalu sulit menuju ke sana

Kebetulan rumah saya ada di pedesaan Nglegok (bingung kan bacanya?) alias 'Blitar coret'. Begini saja, dari arah kota Blitar, terus lurus saja ke utara. Melewati makam Bung Karno. Bingung utara ke mana? Lihat saja Gunung Kelud sebagai patokannya? Masih bingung juga? Tanya Mbah Google. Jadi, kalau dari Nglegok, lokasi perkebunan berada 14 Kilometer ke utara. 

Jangan kuatir tersesat. Mendekati perkebunan kopi ada banyak papan penunjuk jalan. Kondisi jalan juga baik, bisa dilewati dua mobil berdampingan.

2. Selain tempat ngopi, juga tempat wisata keluarga

Jadi sejak 2016, tempat ini benar-benar dikelola sebagai layaknya tempat wisata. Saya patut mengapresiasi Herry Nugroho, eks Bupati Blitar yang telah merawat warisan ayahnya, Denny Roshadi.

Kawasan perkebunan kopi ini disulap tidak hanya menjadi tempat ngopi, melainkan ada wahana untuk edukasi, seperti museum, kelas menanam dan merawat biji kopi, dan tur perkebunan. Selain itu ada juga taman bermain anak, tur dengan ATV (all terrain vehicle), airsoft gun, dan masih banyak wahana lain.

Suasana di dalam kafe
Tempatnya juga instagram-able. Konon kalau mau bikin viral, suatu lokasi musti mensyaratkan hal tersebut. Kata kids jaman now. Gimana nggak, semua disain bangunan khas Belanda. Nuansa kolonial juga sudah terasa sejak masuk gerbang, karena beberapa staf menggunakan seragam penjaga zaman kolonial Belanda. Belum lagi beberapa petugas di antaranya adalah ekspatriat.

Bayar dulu bos sebelum masuk!
Oh iya, harga tiket masuk per Desember 2017 saat saya berkunjung adalah Rp 30 ribu per orang.













3. Denny Roshadi, dari mandor perkebunan menjadi pemilik

Berdasarkan cerita pemandu, waktu saya ke sana, perkebunan ini dimiliki seorang sinyo Belanda. Kopi saat itu menjadi primadona di pasar internasional. Belanda tidak mau ketinggalan dalam persaingan ini. 

Bibit kopi dibawa langsung dari India oleh peneliti Belanda. Sempat terjadi beberapa kali gagal panen di Karanganyar ini, karena kondisi cuaca, hama dan virus tanaman. Setelah melalui beberapa percobaan, biji kopi yang cocok ditanam di wilayah setinggi 460 meter di atas permukaan laut ini adalah Robusta dan Excelsa.  

Suasana dalam Rumah/Museum Loji. Pintu kuning sebelah kiri (arah foto) pernah menjadi kamar Bung Karno. Sedangkan yang kanan adalah pintu kamar pribadi Denny Roshadi. 


Denny Roshadi adalah mandor perkebunan kopi pada saat itu. Setelah Belanda pergi, kepemilikan kemudian beralih. Oleh pemerintah Indonesia, tanah perkebunan dikelola dalam bentuk Hak Guna Usaha, dan hak itu diamanatkan kepada PT Harta Mulia yang didirikan oleh Denny Roshadi sendiri. 
Hingga kini, perkebunan dekat kaki Gunung Kelud ini dimanajeri oleh keluarga Roshadi turun temurun. 

4. Bung Karno Was Here

Nggak afdol rasanya kalau nggak cerita soal keterlibatan Bung Karno di sini. Berdasarkan cerita pemandu, sang proklamator yang saya kagumi sosoknya ini pernah sowan kemari. Sekitar tahun 1954, si Bung pernah mampir dan bermalam di kawasan perkebunan kopi ini.

Sobat Kopi Yuk! bisa cek kamarnya di Museum Loji (dulunya difungsikan sebagai tempat tinggal), letaknya tepat di tengah kawasan perkebunan. Sayangnya, begitu saya tanya ada urusan apa Bung Karno jauh-jauh kemari, si pemandu tidak mengetahui banyak. "Hanya bersantai," kata dia. Barangkali saya terlalu kepo.

Susunan ruangan dalam Museum Loji ini bukan cuma kamar Bung Karno, tepat di sebelahnya ada kamar tidur pribadi Denny Roshadi, si pemilik. Di dalam kamarnya saya melihat banyak barang antik, seperti mesin tik, dua senapan berburu, tempat tidur, lemari, kaca rias lawas dan beberapa lukisan. Sayangnya tidak diperkenankan untuk mengambil foto di area tersebut.

Man, saya selalu merasa seperti tokoh Minke dalam tetralogi Buru-nya Pram ketika mengunjungi situs-situs peninggalan Belanda seperti ini...sayangnya Annelies-nya udah gak ada hahah...

5. Kopi rasa kacang tanah dan duren

Pake gula merah lho!
Waktu itu saya coba kopi robusta super (kelas premium, diseleksi dengan ketat) dengan metode V60. Rasanya? kacang tanah dan ada aroma duren. Kenapa duren? Usut punya usut, tanaman kopi ini ditanam di dekat pohon duren. Hal ini saya konfirmasi juga dengan roaster-nya. "Untuk biji kopinya sendiri kita pakai natural process," tambah si roaster.

Soal harga? Murah. Kamu bisa membayar sekitar Rp 9 ribu hingga Rp 13 ribu. Menunya juga bukan hanya biji kopi Karanganyar. Banyak juga biji kopi dari beberapa daerah lain di Indonesia.

Buat yang kerap minum kopi dengan gula, bisa menambahkannya dengan sajian gula merah yang telah disediakan.

Nah itu dia sekelumit kisah Kopi Oleh-Oleh Karanganyar Blitar. Semoga bisa memberikan informasi buat sobat Kopi Yuk! yang penasaran. Kenapa harganya kami jual cuma lima ribu? Selain karena permintaan si Wak, ya saya mendapatkannya dengan harga murah, Rp 40 ribu sekilo dari petani.

Akhir kata, selamat mencicipi kopi 'Bung Karno'!

Komentar

Postingan Populer