Cari Angin: Mencermati Tren Coworking Space di Kafe-Kafe Jogja


Beberapa waktu lalu, sobat Kopi Yuk! Tembel dan Oges terlibat diskusi seru di kedai soal 'Coworking Space'. Saya pun tertarik dan ikut nimbrung.

Barangkali buat beberapa rekan di Jogja, istilah tersebut masih asing. Namun di ibukota, frasa ini sudah terbilang umum. Apalagi coworking space kerap diidentikkan dengan perusahaan startup. 

Kalau saya tak salah ingat, perbincangan dua hari lalu di kedai menyimpulkan bahwa semestinya di coworking space, "pemilik tempat juga bisa berinteraksi dengan penggunanya," ujar Oges.

"Misalkan mengoneksikan kebutuhan pengunjungnya yang memiliki keahlian tertentu dengan kenalan si pemilik coworking space yang juga mempunyai kebutuhan sama," tambah dia. Singkatnya, fungsi tempat bertajuk coworking space adalah menghubungkan kebutuhan satu orang dengan yang lain (kerja, keahlian, calon klien, pembeli, penjual, dll).


Apa itu coworking space?
Sebelum terlalu jauh membahas, ada baiknya kita telusuri dulu arti kata coworking space.

'Ruang Bersama' pada dasarnya merupakan tempat kerja untuk melakukan pekerjaan/proyek tertentu. Lha terus apa bedanya dengan ruangan kantor? Tidak seperti ruangan pada kantor konvensional, di sini tidak ada sekat atau melakukan pekerjaan dalam cubicle sehingga memungkinkan semua orang untuk berinteraksi satu sama lain.

Selain itu dari segi biaya sewa, jelas coworking space lebih murah ketimbang sewa kantor atau bikin gedung kantor. You get what you pay. Di saat biaya produksi terbesar adalah biaya operasional kantor (sewa ruangan, listrik, maintenance cost, dll) dan gaji pekerja, maka coworking space adalah sebuah jalan keluar bagi pengusaha pemula atau bahkan startup untuk menjalankan bisnis. Apalagi tarif yang dipatok untuk menyewa coworking space adalah per jam. Efektif dan efisien kan?

Nah, penjelasan Oges sebelumnya berbicara soal keunggulan coworking space, yaitu membuka peluang networking. Utamanya bagi pekerja individual yang sedang mencari tim atau rekan bisnis/kerja.
 
Bagaimana pula trennya?
Belum lama ini, tren terhadap sewa ruang kantor menurun di Jakarta. Berdasarkan hasil laporan Colliers International pada Januari tahun lalu menyebutkan adanya penurunan sebesar 4% di kawasan SCBD, Jakarta Pusat dan di luar kawasan SCBD, menurun hingga 5,8%. Kondisi ini diprediksi akan terus berlanjut hingga 2019, menurut konsultan properti tersebut.

Lalu beralih ke mana? Meski belum ada data resmi dari dalam negeri soal perkembangan bisnis coworking space, setidaknya laporan Coworkaholic tahun 2016 lalu patut dicermati.

Penelitian yang dilakukan sejak 2012 oleh media online seputar coworking space tersebut memproyeksikan adanya peningkatan jumlah coworking space di dunia dari tahun ke tahun.


Data lain dari Cushman Wakefield memperlihatkan, permintaan terhadap industri 'sewa-ruangan-murah-namun-membuka-peluang-kerja-berjaringan' (begitu saya menyebutnya) di Asia Tenggara meningkat 15% pada tahun 2017. Bisa jadi peminatnya adalah startup atau UMKM.

Nah, bagaimana di Jogja sendiri? 
Meski belum banyak orang tahu esensi dari coworking space, setidaknya sudah mulai bermunculan kafe di Jogja memanfaatkan peluang ini. Tajuk 'collaborative space' atau 'coworking space' tampak disematkan bersama logo dan nama kafe. Nah, tinggal edukasi dan promosinya dari si pemilik tempat.

Sampai di sini saya ingin membahas statement Oges. Dan bagi saya ini menarik. Karena kata collaborative dan coworking space akan menjadi percuma ketika si pengelola/pemilik tempat sekadar menyediakan sarana fisik. Bagi saya ini bukan sekadar bicara memanfaatkan ruangan idle secara bisnis melainkan semangat kolaborasi dan, seperti Oges katakan di awal tulisan ini: saling mengoneksikan kebutuhan orang.

Komentar

Postingan Populer