Kenali 7 Pandangan Gen Z Yogya terhadap Minuman Kopi!
Lahir di tahun 1995-2012[1],
Generasi Z telah akrab hidup sejak usia dini bersama teknologi informasi dan
komunikasi digital. Di Indonesia saja, jumlahnya sudah mencapai 68 Juta orang[2].
Generasi ini merupakan the next potential market.
Bagaimana metode
penelitiannya?
Penelitian
in-depth interview dilakukan bersama 11 informan dengan karakteristik:
Laki-laki dan perempuan, usia 18-23 tahun, berdomisili di Yogyakarta, profesi
pelajar/mahasiswa/first jobber, peminum kopi (sachet atau nonsachet),
dan nongkrong di kafe paling sedikit sekali dalam sebulan.
Wawancara
ini dilakukan dalam rentang waktu Maret-April 2018.
Data
sekunder yang dimanfaatkan untuk memperkuat penelitian ini adalah, hasil survei
kebiasaan konsumsi Kopi Yuk Desember 2017 dan hasil studi generasi Z dari
berbagai sumber.
Apa saja temuannya?
1.
KOPI = PAHIT
Pengalaman berkontribusi membentuk persepsi[3]. Para
informan Gen Z memulai minum kopi sejak belia (SD, SMP). Orang tua mereka yang
memperkenalkan pertama kali: kopi sachet (Kapal Api, Torabika).
2.
KOPI SACHET BOLEHLAH
SESEKALI
Tidak seperti Gen Y (Kelahiran 1980-1994), Gen Z
jarang minum kopi. Di usia Gen Z saat ini (mayoritas pelajar/mahasiswa)
konsumsi kopi sachet tak masalah buat mereka. Namun khusus bagi Gen Z first
jobber kebiasaan mulai berubah, mereka minum kopi giling karena pengaruh
lingkungan pertemanan kantor.
3.
KOPI SERIUS VS KOPI
SANTAI
Gen Z bisa mengklasifikasikan jenis kopi
berdasarkan tujuan yang dicapainya. Jika mood sedang ingin mengerjakan tugas,
excited, fokus, menyendiri, maka kopi hitam cocok buat mereka. Sebaliknya, kopi
susu diperuntukkan bagi mereka yang ingin rileks, santai, dan ngobrol bersama
teman-teman.
4.
TIDAK GAMPANG PERCAYA
Dibesarkan saat peristiwa Reformasi 1998, ketidakpastian
kondisi ekonomi 1998-2000, kejadian 9/11, peristiwa Bom Bali I dan II, &
gerakan GAM membuat orangtua mereka mengajari anak-anaknya selalu dalam
kewaspadaan tinggi dan tidak mudah percaya orang lain[4]. Hal ini
ternyata termasuk pilihan tempat ngopi, mereka skeptis bahkan terhadap
rekomendasi teman apalagi postingan Instagram. Tidak cuma itu, mereka juga
kritis terhadap rekomendasi barista.
5.
CITA-CITAKU MENJADI
BARISTA
Berterimakasihlah kepada YouTube dan film Filosofi Kopi, akhirnya pilihan cita-cita anak jaman sekarang tidak lagi melulu menjadi dokter atau insinyur. Beberapa informan pria menyatakan akan menjadi barista sebagai pilihan profesi masa depan[5].
6.
KOPI CUSTOM?? KENAPA
NGGAK
Gen Z sangat menyukai hal-hal yang terpersonalisasi bahkan saat ini, hiper-kustomisasi[6]. Semua produk diciptakan khusus untuk masing-masing individu. Kenapa tidak mencoba kopi dengan topping oreo atau biskuit regal? Atau takaran espresso yang dikurangi atau ditambahi sesuai selera mereka? Selain itu mereka sangat suka inovasi!
7.
EKSPRESIF DI DUNIA
DIGITAL, PASIF DI DUNIA FISIK
Gen Z lebih memahami secara tepat sebuah peruntukan aplikasi ketimbang generasi sebelumnya. Ketika menyampaikan perasaan atau emosi mereka di aplikasi chat, mereka akan memilih menggunakan video call atau teks dengan emoticon[7], terutama LINE karena pilihan emoji/emoticon lebih spesifik dan beragam.
Namun di dunia fisik mereka terlihat pasif[8] dalam
artian, dalam kasus memilih kafe mereka ingin suasana tidak terlalu
ramai/berisik, memilih untuk menyendiri, dan ruang untuk privasi. Berbeda
dengan Gen Y yang lebih kolaboratif, meniadakan bilik ruang kerja seperti open
space/coworking space.
Lalu apa rekomendasi bisnisnya?
Untuk rekomendasi bisnis, silakan bisa di-klik link untuk download
presentasi di bawah ini.
Terima kasih sudah meluangkan waktumu untuk membaca hasil riset ini. Kami membuka peluang diskusi untuk memahami lebih dalam the next potential market ini. Jika ada yang berminat silakan menghubungi kami sesuai kontak yang ada dalam slide presentasi tersebut.
Tabik!
[1] Angka tahun kelahiran bisa berbeda tergantung referensi. Di sini saya
menggunakan acuan David & Jonah Stillman (2018), Generasi Z: Memahami
Karakter Generasi Baru yang Akan Mengubah Dunia Kerja.
[3] Menurut Miftah Toha (2003: 154), faktor-faktor
yang mempengaruhi persepsi seseorang adalah sebagai berikut : a. Faktor
internal: perasaan, sikap dan kepribadian individu, prasangka, keinginan atau
harapan, perhatian (fokus), proses belajar, keadaan fisik, gangguan kejiwaan,
nilai dan kebutuhan juga minat, dan motivasi. b. Faktor eksternal: latar
belakang keluarga, informasi yang diperoleh, pengetahuan dan kebutuhan sekitar,
intensitas, ukuran, keberlawanan, pengulangan gerak, hal-hal baru dan familiar
atau ketidakasingan suatu objek. Sumber: Miftah Toha. (2003). Perilaku
Organisasi Konsep Dasar dan Aplikasinya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
[4] Dalam buku Generasi Z: Memahami Karakter Generasi Baru yang Akan
Mengubah Dunia Kerja karya David & Jonah Stillman, disebutkan peristiwa
besar memiliki pengaruh terhadap pola ajar ortu kepada anak-anak mereka, yang
akhirnya membentuk pola pikir dan persepsi memandang dunia bagi Gen Z.
[5] Dalam buku Generasi Z: Memahami Karakter
Generasi Baru yang Akan Mengubah Dunia Kerja karya David & Jonah
Stillman, saat ini makin banyak profesi-profesi yang tak ditemui pada generasi
sebelumnya. Personalisasi terhadap jenis pekerjaan dan profesi bahkan telah
dilakukan beberapa perusahaan besar (Socmed Specialist, Talent Development Staff,
Creator/Vlogger, dll) . Gen Z akan sangat tertarik dengan profesi yang sangat
terspesialisasi dan terkustomisasi ini.
[6] Hiper-kustomisasi adalah istilah dalam buku Generasi
Z: Memahami Karakter Generasi Baru yang Akan Mengubah Dunia Kerja karya
David & Jonah Stillman. Artinya Gen Z sangat terfokus menciptakan merek
individu mereka sendiri sehingga membiarkan identitas mereka lebih
terkustomisasi dibandingkan sebelumnya.
[7] Masih dalam buku Generasi Z: Memahami Karakter Generasi Baru yang Akan
Mengubah Dunia Kerja karya David & Jonah Stillman sebagai dampak dari
Figital (Fisik dan Digital), dimana Gen Z memahami komunikasi dunia fisik
serupa dengan dunia digital, dan itu wajar menurut mereka, maka tidak heran
ketika mereka mengetik pesan dan mengirimkan pesan dalam bentuk teks akan
ditemui banyak emotikon yang dimaksudkan untuk menguatkan makna pesan tersebut.
Bisa berupa video, GIF, atau bahkan simbol.
[8] Masih dengan referensi buku yang sama, pemahaman Gen Z terhadap dunia
dibangun dari pola asuh orangtua ( Gen X) mereka yang mengajarkan untuk melakukan
semuanya sendiri, atau setidaknya dengan pemahaman “kalau semua bisa dilakukan
sendiri, tidak perlu orang lain”. Hal ini juga didukung oleh situasi/peristiwa
politik yang membuat para ortu lebih berhati-hati untuk percaya orang asing.
Dalam sebuah survei yang dilakukan David & Jonah Stillman, 55% Gen Z
mengaku lebih baik mereka bekerja sendiri dibandingkan bekerja bersama orang
lain. Bukan karena mereka tidak suka, tapi karena mereka akan lebih fokus
mengerjakannya.
Komentar
Posting Komentar