TEI 2019: Tren Impor Kopi di Jerman dan Belgia (Part 1)

Robusta Burioma Temanggung dengan Pak Mus sebagai prosesornya, baru saja memenangkan Kontes Kopi Specialty Indonesia di Bandung, 17-19 Oktober 2019 lalu. Kopi Robusta Burioma Temanggung ini adalah bahan baku #kopirasabuah Kopi Yuk selama 1,5 tahun ini. Courtesy: Burioma

Event Trade Expo Indonesia 2019 kemarin masih menyisakan banyak cerita menarik. Selain Forum Ekspor Kopi pada postingan sebelum ini, Bing mendapat beberapa insight ketika sesi business consulting 19 Oktober 2019 lalu. Berikut ini rangkuman obrolan bersama Atase Dagang dan perwakilan Indonesia Trade Promotion Center empat negara tersebut yang disertai insight terbaru dari CBI dan beberapa artikel pendukung lain.

Jerman.
Bersama Atase Dagang Indonesia untuk Berlin
Sebagai negara dengan peminum kopi tertinggi se-Eropa (21% pada tahun 2015), tidak heran jika kebutuhan impor di negara panser tersebut juga tinggi. Pada tahun 2018 lalu nilai impor kopi Jerman mencapai 3.5 Milyar USD atau nomor dua terbesar di dunia setelah AS.

Namun impor kopi tersebut bukan berarti hanya untuk memenuhi kebutuhan domestik penduduk mereka, melainkan untuk diekspor kembali (re-export) ke negara-negara seperti Polandia dan AS. Dalam satu artikel, green beans kopi dari Uganda dibeli Jerman USD 3.41/Kg dan dijual kembali ke negara lain dengan bentuk sama USD 5.92/Kg, dan dalam bentuk roasted beans seharga USD 8.83/Kg ke, misalnya AS (data pada tahun 2012). Kenapa begitu? Jerman unggul dalam memberikan nilai tambah komoditi tersebut dengan segala kemajuan teknologi dan jaminan sertifikasi pangannya. Maka tidak aneh jika Jerman dijuluki sebagai negara 'pengekspor kopi terbesar dunia tanpa satu pun tanaman kopi di negaranya.'

Wajar jika Atase Dagang Berlin (lupa namanya) berkata kepada saya, "Jerman hanya mau mengimpor green beans karena di sana sudah banyak roaster." Hal ini juga dialami oleh negara-negara Afrika yang mengekspor biji kopi ke Jerman. Nah, kalau sudah begini, tentu kita perlu berinovasi.

Di mana peluang bagi eksportir baru dari Indonesia? Untuk masuk sebagai pemain baru tampaknya agak susah. Apalagi jika hanya jualan green beans. Keunikan produk harus ditonjolkan. Terutama Jerman sangat peduli dengan asal usul suatu produk, maka memenuhi certificate of origin, rainforest, fairtrade, organic adalah suatu keharusan.  
   
Specialty coffee kini sedang menjadi tren di sana. Tentu saja persyaratan seperti hasil cupping score (minimal 80-84) harus ditunjukkan. Pembeli potensial biasanya datang dari small roasters.

Terakhir, produk inovasi kopi untuk konsumsi rumahan sedang tren di Jerman. Seperti kopi instan dan kopi kapsul/tablet memiliki market share sebesar 5% (data 2015). 


Belgia. 
Bersama Atase Dagang Indonesia untuk Brussel
Mirip dengan Jerman, Belgia juga importir plus eksportir kopi. Namun sasaran ekspor mayoritas ke negara tetangga seperti Belanda, Prancis bahkan Jerman (data 2017). Sementara impor berasal dari Brasil dan Vietnam.

"Permintaan terhadap biji kopi tinggi mas di sana, kelebihannya Belgia sebagai hub (pintu masuk dan penghubung ke negara-negara Eropa lain). Kalau sudah lolos persyaratan di sini, untuk ekspor ke negara Eropa lain mudah," ujar Atase Dagang Brussels. Hal ini disebabkan Pelabuhan Antwerp memang memiliki tempat penampungan barang ekspor tersendiri, komoditas kopi saja dapat disimpan sebanyak lebih dari 300 ribu ton. Para eksportir, importir dan buyer tidak perlu khawatir, fasilitas penyimpanan di sana dijamin higienis.

Di mana peluang bagi eksportir dari Indonesia? Sama seperti Jerman, Indonesia tidak termasuk lima besar negara pengekspor biji kopi ke sana. Kita musti bersaing dengan negara Amerika Latin seperti Brasil, Peru, Honduras, Kolombia. Anehnya kita juga kalah dari Vietnam.

Jika ingin masuk ke pasar Belgia, sama seperti Jerman legalitas asal usul biji kopi harus ada. Tidak seperti Jerman, Belgia 'agak moderat' soal kelengkapan sertifikat. Namun jika Sobat punya sertifikat rainforest alliance, organic dan Fair Trade menjadi nilai lebih terutama mudah mendapatkan kepercayaan dari buyer.

Agak berbeda dengan Jerman, tren peminum kopi Belgia umumnya lebih menyukai blend dengan komposisi umum di sana 70% arabika dan 30% robusta. Tapi tidak menutup kemungkinan jika sobat memiliki specialty coffee dengan cupping score di atas 85, ada peluang positif.

Baik Jerman dan Belgia, umumnya buyer kelas besar akan memesan minimal sebesar 10 kontainer. Dengan ukuran per kantong, 60 Kg. Bayangkan saja, 1 kontainer harus berapa ton tuh? Hahaha Bing gak sempet ngitung.

Tapi jangan kuatir untuk eksportir dengan kemampuan di bawah 10 kontainer atau small batch tetap ada peluang. Silakan bisa menghubungi langsung para importir terdaftar di negara tujuan atau dapat menawarkan langsung via email kepada pemilik kafe di sana.

Tren lain peminum kopi di sana adalah makin tingginya peminum kopi rumahan. Dengan 70% pasar peminum kopi rumahan, dimana mereka sudah memiliki alat penyeduhnya sendiri (Dolce Gusto, dll) peluang terbuka sangat lebar untuk kopi instan/kapsul/tablet.

Apa kesimpulan dari dua negara tersebut? Peningkatan kualitas disertai dengan sertifikasi jelas mendapat peluang lebih besar ketimbang yang tidak melakukan. Barangkali sudah menjadi terang ketika mengapa biji kopi Indonesia sulit masuk ke pasar non-tradisional (selain AS dan China) di Eropa.

Selain itu perlunya nilai tambah pada produk kopi, karena peluangnya lebih besar kepada produk turunannya. Ya seperti produk coffee on the go atau material kopi yang bisa dimanfaatkan untuk kosmetik (sabun, scrub) atau bahan bakar (seperti yang dilakukan mahasiswa Toronto). Intinya inovasi produk.

Sumber:

Komentar

Postingan Populer