Ekspor Kopi dan Tantangannya


Robusta Temanggung. Courtesy: Burioma Kofie

“Dalam dunia yang penuh risiko, yang sangat dinamis, dan yang sangat kompetitif, kita harus terus mengembangkan cara-cara baru, nilai-nilai baru. Jangan sampai kita terjebak dalam rutinitas yang monoton.” Lanjut dia, “Harusnya, inovasi bukan hanya pengetahuan. Inovasi adalah budaya.”

-Pidato Kenegaraan Presiden RI, Jokowi saat pelantikan kedua di Gedung MPR RI, 20 Oktober 2019-

Industri kopi di Indonesia butuh inovasi. Dalam kaitannya dengan persaingan antarnegara, peningkatan mutu, pengelolaan sumber daya manusia dan alam berkelanjutan musti dibikin cara-cara baru yang mempermudah pelaku usaha.

Dalam tulisan ini saya akan merangkumkan hasil pertemuan “Forum Koordinasi Peningkatan Ekspor Kopi dan Produk Turunannya” sebagai wakil dari enam UMKM terpilih Sleman Yogyakarta dari gelaran temu buyer dan seller dunia di Trade Expo Indonesia 34th 2019 16-20 Oktober kemarin. Dokumen presentasi pemateri dapat Sobat unduh di akhir artikel ini.

Di mana kita saat ini?

Selama ini, Indonesia adalah produsen kopi nomor empat terbesar di dunia. Namun secara nilai ekspor masih di peringkat ke-13 dengan valuasi USD 818 Juta berdasarkan data ITC terbaru Juli 2019. Ironisnya kalah jauh dibandingkan negara non-produsen kopi seperti Belanda (peringkat 12), AS (peringkat 10), atau negara kecil Eropa seperti Belgia (peringkat 9).  

Hal ini bisa terjadi karena biji kopi Indonesia kalah bersaing posisi tawar harga di pasaran Internasional. Sebagai salah satu contoh, harga green bean kopi robusta kualitas terbaik impor dari produsen nomor satu dunia, Brasil hanya 1-2 USD per kg atau Rp 15,000 - 30,000/Kg (Mengenai penyebab murahnya Kopi Brasil silahkan cek tautan ini) Indonesia? Di kedai Kopi Yuk! saja kami beli paling murah di kisaran Rp 60,000/Kg dari Blitar, kampung halaman si Bing.

Jika dibandingkan dengan produsen kopi nomor satu dunia, Brasil, produktivitas lahan kopi di Indonesia juga masih kalah jauh. 700 kg/ha di Indonesia berbanding 2-3,5 Ton/ha di Brasil. Sementara negara tetangga ASEAN, Vietnam dengan luas perkebunan hanya 630 ribu ha mampu menghasilkan 2,7 ton/ha. Maka tidak heran untuk kalangan domestik sendiri, konsumsi dalam negeri pun masih defisit. Padahal sebagai industri, ‘roda pabrik’ harus terus berjalan.

Sesi konsultasi bersama asosiasi pelaku usaha untuk sektor kopi, SCOPI
Belum lagi situasi makin bersaing karena negara-negara Eropa saat ini melakukan re-export kopi dengan nilai tambah pada produk tersebut (Jerman adalah eksportir kopi instan nomor satu di dunia saat ini!). Inovasi terhadap teknologi pangan membuat beberapa negara Eropa non-produsen kopi justru punya daya saing tinggi. Kondisi ini belum termasuk strategi politik dan perang dagang dunia.

Nah, dengan sebagian kondisi di lapangan ini bagaimana ke depannya?


Ke mana kaki akan melangkah?

Dengan sekian banyaknya tantangan ekspor tersebut, Sekretaris Ditjen Daglu Marthin dan Direktur Pengembangan Produk Ekspor Ari Satria tampaknya memilih pembenahan dari segi kemudahan untuk melakukan ekspor seperti jalur Online Single Submission (OSS) dengan dikeluarkannya Nomor Induk Berusaha dan Izin Usaha Mikro Kecil, pelaku bisnis kopi pemula sudah memenuhi salah satu syarat untuk menjadi eksportir. Selain melengkapi surat izin dan sertifikasi lain, yang tentunya juga sudah dipermudah, terjangkau, bahkan gratis.

Menanggapi masalah yang sudah disebut sebelumnya, fokus pemerintah terhadap industri kopi Indonesia saat ini juga adalah perbaikan kualitas. Terutama dari segi sertifikasi (indikasi geografis, dll), perbaikan packaging dan rebranding. Hal ini dilakukan karena melihat kurang populernya merek kopi Indonesia di mata dunia. 

Sebagai tambahan informasi, hingga September 2018 baru ada 24 Indikasi Geografis terdaftar di Ditjen Hak Kekayaan Intelektual Indonesia. Jumlah ini masih jauh di bawah target, mengingat tiap daerah di Indonesia memiliki keunikan soal citarasa kopi beragam namun justru kesadaran terhadap perlindungan merek minim.

Bing melihat arahan ini merasa masih ada gap antara sasaran pemerintah dengan masalah di lapangan. Target fantastis 1-1,6 ton/ha tidak dipaparkan detil cara mencapainya (barangkali lebih tepat jika menggandeng Kementerian Pertanian dan Perindustrian). Peningkatan kualitas otomatis hanya dari segi sertifikasi tapi tidak dijelaskan apa saja jenis dan manfaat globalnya. Produk turunan atau olahan yang memberikan nilai tambah terhadap kopi itu sendiri juga tidak dipaparkan. Karena menurut Bing, nilai lebih supaya biji kopi berdaya saing tinggi ada di sana. Menyitir pernyataan Presiden Jokowi soal inovasi, tampaknya kebaruan hanya ada pada program packaging dan rebranding.

Selain itu, pada seminar tidak dijelaskan ketentuan atau tip dan trik melakukan negosiasi terhadap buyer internasional terutama soal kerjasama dan kesepakatan harga. Hal ini penting untuk menghindari kemungkinan terburuk seperti merugi atau penipuan. Sebagian besar perbincangan hanya seputar kemudahan regulasi melakukan ekspor impor.


Di mana Kopi Yuk! berperan

Kemudian apa implikasi dan relevansi acara ini kepada Kopi Yuk! Selain kami jadi belajar bagaimana ekspor kopi dan tren dunia, ke depannya kami juga akan berkomitmen dalam menjaga keberlanjutan komoditi ini.

Tidak hanya kepada pola konsumsi dan jual beli, bekerjasama dengan Burioma yang selama ini menjaga ketersediaan Robusta Temanggung di kedai, kami juga bertanggung jawab kepada peningkatan kualitas produk sebagai langkah awal, sebelum akhirnya berlanjut kepada economy sustainability. 

Mungkin terlalu cepat untuk berpikir ekspor kopi, bagi kami, sebagai langkah awal, ke depannya akan memenuhi dulu regulasi-regulasi berkait dengan produk (perlindungan merek, BPOM, SIE, sertifikasi halal, dll) sebagai keseriusan kami sebelum melangkah jauh untuk ekspor. Setidaknya inilah inovasi kami.


Sebagian tulisan di sini, mengambil materi dari ppt pada forum tersebut. Materi presentasi dapat diunduh di https://bit.ly/2WkCwZr


Komentar

Postingan Populer